Mengajar, inilah kata kunci yang sangat mempengaruhi
keberhasilan sebuah proses pendidikan, dan mengajar pulalah yang mendapat
kritik keras dari Paulo Freire dengan model pembelajaran pasif, yakni guru enerangkan, murid mendengarkan, guru
mendiktekan, murid mencatat, guru
bertanya, murid menjawa, dan seterusnya. Paulo Freire menyebutnya dengan
pendidikan gaya bank, yakni pendidikan
model deposito, guru sebagai deposan yang mendepositokan pengetahuan serta berbagai pengalamannya pada siswa, siswa
hanya menerima, mencatat dan mem-file semua yang disampaikan guru. Pendidikan model bank
tersebut menurut Freire merupakan salah satu bentuk penindasan terhadap siswa-siswa, karena
menghambat kreativitas dan pengembangan potensi mereka.
Pengajaran model itu terkadang juga disebut sebagai
pendidikan gaya komando, dan menurut Muska Mosston, gejala tersebut muncul dalam decade 60-an sampai 70-an, yang mengembangkan prinsip distribusi sebuah keputusan harus dilakukan secara hierarkis, dari atas ke bawah, dari guru pada siswa. Dalam pengajaran gaya komando, semua perencanaan ditentuakan oleh guru,ndisampaikan pada siswa, dan siswa menerima pelajaran, mengubah perilaku sesuai dengan pelajaran
baru. Akan tetapi, mereka tidak terlibat dalam proses analisis untuk penerapan pengalaman baru
tersebut pada konteks kehidupan lain, dan lebih jauh lagi, mereka juga tidak terlibat dalam pembahasan
feed back buat guru.
Pengajaran model gaya komando ini menurut Mosston merupakan salah satu bentuk akhir polarisasi aliran behaviorisme, yang kemudian memperoleh kritik keras karena
mamatikan semangat demokratisasi dan mematikan kreativitas siswa, tidak menghargai siswa dan kurang
peduli terhadap keragaman siswa. Oleh sebab itu, kemudian berkembang model task style, yakni belajar
antara penugasan dan instructional, dan diikuti kemudian dengan kemunculan berbagai model sampai kini
muncul model collaborative and cooperative learning yang dikembangkan oleh aliran psikologi
developmental, yang menekankan pada aktivitas siswa dan dibantu oleh guru. Namun sebelum lebih jauh
membahas tentang model mengajar efektif untuk era reformasi saat ini, perlu diperjelas terlebih dahulu
tentang apakah mengajar itu, pengertian seperti apa yang akan digunakan untuk mengajar dalam konteks
mendorong perwujudan sekolah demokratis.
Sedangkan aliran psikologi kognitif memandang bahwa belajar adalah mengembangkan berbagai
strategi untuk mencatat dan memperoleh berbagai informasi, siswa harus aktif
menemukan informasi-informasi tersebut, dan guru bukan mengontrol stimulus, tapi menjadi partner
siswa dalam proses penemuan berbagai informasi dan makna-makna dari informasi yang diperolehnya dalam pelajaran yang mereka bahas dan kaji bersama. Aliran constructivisme yang dikembangkan dari psikologi kognitif ini menekankan teorinya bahwa siswa amat berperan dalam menemukan ilmu baru. Contructivisme
adalah aliran yang mengembangkan pandangan tentang belajar yang menekankan pada empat komponen kunci, yaitu:
1. Siswa membangun pemahamannya
sendiri dari hasil mereka belajar bukan karena disampaikan pada mereka.
2. Pelajaran baru sangat
tergantung pada pelajaran sebelumnya.
3. Belajar dapat ditingkatkan
dengan interaksi social.
4. Penugasan-penugasan dalam
belajar dapat meningkatkan kebermaknaan proses pembelajaran.
Namun di
tengah-tengah derasnya kritik terhadap behaviorisme, Kevin Wheldall dan Ted
Glynn mengembangkan sebuah paradigma behaviorisme dengan constructivisme,
dengan argumentasi bahwa disadari atau tidak, para guru telah dan terus menerapkan
prinsip-prinsip behaviorisme dalam pengembangan proses pembelajarannya di dalam
kelas, namun mereka juga tidak mau tertinggal dengan berbagai perkembangan terbaru dalam peningkatan efektifitas pembelajaran.
Demikian
dikemukakan oleh Denis Child, editor buku Wheldall. Sedangkan teori-teori Kevin
Wheldall dan Ted Glynn yang mensintesiskan teori behaviorisme dengan contructivisme
yang berbasis teori psikologi developmental, adalah sebagai berikut:
Penggunaan metode-metode yang sesuai dengan kebutuhan analisis
perilaku, yakni pelaksanaan pembelajaran dengan menekankan prosedur yang
sistematis, selalu mengulang pengukuran perilaku yang termati, dan menggunakan
berbagai strategi yang logis untuk mencapai perilaku yang diharapkan.
1. Mengenali, mengakui berbagai
konteks dan keadaan serta lingkungan yang penting dan mempengaruhi proses
pembelajaran siswa. Berbagai strategi yang akan meningkatkan efektifitas belajar siswa harus dikembangkan.
2. Berusaha untuk memaksimalkan
penggunaan berbagai penguat natural, kapan saja sejauh akan melahirkan
konsekuensi positif untuk perubahan perilaku, dan mereka akan mampu melakukan
generalisasi dari berbagai pengalaman belajar mereka, dan mampu
mengaplikasikannya pada kehidupan yang lebih luas. Berbagai kemungkinan
penguatan artificial harus digunakan secara selektif jika belum terbukti bahwa
penguatan tersebut cukup produktif.
3. Responsif terhadap berbagai
data dari hasil penelitian aliran non-behavioural. Aliran behavioural tidak
boleh selalu mengklaim bahwa hasil penelitian alirannya yang dapat dipakai.
Hasil -hasil penelitian aliran lain seperti hasil penelitian aliran psikologi developmental
merupakan sesuatu yang sangat berarti untuk interaksi orang dewasa dan
anak-anak dalam seting social yang natural. Berbagai hasil penelitian dari
aliran lain dapat memperkaya teori aliran behavioural dalam memperkaya
perumusan teori-teori tentang belajar mengajar.
4. Penekanan pada belajar
interaktif. Aliran behavioural menghindari penjelasan satu arah dalam proses pembelajaran, dan mengadaptasi teori interactive learning, yang
mengakui bahwa guru harus mengubah strategi sebagai respon terhadap pembelajar
(siswa) saat terjadi perubahan perilaku belajar pada siswa.
5. Selalu berusaha untuk
membantu siswa, agar mereka dapat memberikan control yang lebih besar terhadap
proses belajarnya sendiri. Dalam upaya membantu siswa agar lebih independent dalam
belajar, kita harus mempersiapkan konteks belajar bagi mereka, dan mereka
diberi kesempatan untuk memberikan kontrol yang lebih besar terhadap proses
belajarnya sendiri. Konsekuensinya, siswa harus dibenarkan untuk memilih
topic-topik belajar mereka, menentukan waktu dan konteks interkatif belajar
mereka, menentukan waktu dan konteks interaksi belajar mereka. Dengan demikian,
bahan-bahan belajar untuk anak-anak (yang sudah dipersiapkan) bisa menjadi
sesuatu yang bertentangan dalam pendekatan tersebut.
6. Memperluas program-program
pendidikan tidak hanya program persekolahan tapi juga mencoba menambah dan
memperkuat siswa dengan membuka peluang bagi mereka untuk mempelajari berbagai
keahlian dan keterampilan akademik dan sosial yang sesuai dengan kehidupan
nyata. Kami tidak menganggap bahwa jawaban terbenar terhadap hasil pendidikan
adalah yang terikat dengan apa yang telah diberikan guru dan sekolah, tapi juga
orang tua dan teman sebaya yang telah
memberikan banyak nilai pada mereka
melalui interaksinya. Kontribusi mereka terhadap hasil belajar anak-anak sangat
besar yang tidak bisa dinilai.
7. Mendorong inisiatif yang
dikembangkan oleh para siswa sendiri. Kami bermaksud untuk mempersiapkan
berbagai konteks yang dapat meningkatkan inisiatif para siswa dan yang dapat
mendorong para guru untuk meresponi inisiatif tersebut.
8. Menghargai setiap kesempatan
belajar yang muncul dari berbagai kesalahan. Bahwa kesalahan-kesalahan itu
menyediakan kesempatan belajar yang amat berguna. Guru dan siswa harus sama-sama
mencari dan memperoleh informasi untuk mendapatkan strategi yang dibutuhkan
untuk mengatasi berbagai kesulitan dalam belajar. Metode aliran behavioural
constructive merancang untuk mendorong belajar tanpa kesalahan, dan melarang
guru dan siswa untuk mengakses peluang berbagai kesalahan tersebut.
9. Mengakui kompleksitas skil
guru professional yang dibutuhkan oleh setiap guru. Kami benar-benar menolak
ide untuk mencoba menghasilkan bahan ajar yang dihasilkan guru yang dapat
menurunkan peran-peran profesionalisme guru. Riset-riset aliran behavioural
kini terus berusaha untuk melengkapi guru dengan berbagai keterampilan dan
prosedur untuk dapat digunakan dalam praktik secara langsung dalam menciptakan
proses pembelajaran yang sesuai konteks bagi para siswa yang adalam didikannya.
Semuanya ini termasuk perumusan model yang mendekati perilaku akademik dan
social, dan mengembangkan kerjasama dengan orang tua, teman sebaya, serta para
professional dalam prosedur yang dikembangkan untuk meningkatkan efektifitas
proses pembelajaran siswa. Untuk menjadi
warga yang cerdas, setiap anak harus di didik dibina agar memiliki berbagai
keahlian, skil dan keterampilan sesuai dengan talenta dan kemampuan yang mereka
miliki. Gagasan besar tersebut sangat mudah diucapkan namun sukar untuk
dirumuskan secara definitive untuk mencoba menyusun langkah-langkah yang akurat menuju ide-ide tersebut. Apakah smart
citizen dengan berbagai kualifikasi idealnya sebagaimana telah dikemukakan di atas, bisa dicapai dengan
pengembangan kemampuan kecerdasan dalam tahapan-tahapan kognitif seperti konsep
Benjamin S. Bloom, yakni pengembangan kemampuan berpikir pada enam (6) level,
dari mengenal, memahami, mengaplikasi, analisis, membuat sintesis dan melakukan
evaluasi, yang kemudian diinternalisasi dengan perlakuan afektif dan dibiasakan
dengan perlakuan sikomotorik. Pertanyaan besar ini masih terus diwacanakan di
kalangan para peneliti dan peminat pendidikan. Salah satu hipotesisnya adalah
kecerdasan seseorang, dalam sains dan teknologi tidak menjamin kesuksesan karir
hidup dengan kemampuannya itu, tanpa diperkuat kecerdasan- kecerdasan lainnya
yang diperlukan untuk mengembangkan kemitraan dengan orang lain, mengembangkan kepercayaan diri, serta berbagai
kemampuan komunikasi verbal dan non-verbal yang diperlukan dalam artikulasi keilmuannya. Oleh
sebab itu, Donald P. Kauchak mengangkat teori multiple intelligence yang dikutipnya dari hasil
penelitian Howard Gardner, yakni kecerdasan seseorang tidak hanya diukur dengan tingkat intelligence
question yang hanya mengukur tiga variable, yakni berpikir abstrak dan
rasional, kemampuan penyelesaian masalah, dan kemampuan penguasaan pengetahuan,
tapi dalam berbagai aspek yang sangat diperlukan dalam pengembangan kehidupan
ke depan. Menurut Howard Gardner, terdapat tujuh (7) variable yang bisa diukur
untuk melihat kecerdasan seseorang, yakni:
1. Linguistic intelligence
2. Logical-mathematical
intelligence
3. Misical intelligence
4. Spatial intelligence
5. Bodily-kinesthetic
intelligence
6. Interpersonal intelligence
7. Intrapersonal intelligence
BELAJAR YANG MEMBELAJARKAN
Model belajar
problem solving tersebut, kini sudah mulai dikembangkan dengan
modelpembelajaran portofolio. Pembelajaran dengan outcome level tertinggi lainnya adalah
pengembangan criticak thinking yakni kemampuan berpikir kritis, yang bisa dikembangkan sejak dini, dan
tidak tergantung pada tingkat intelligence question, namun pada intensitas pembinaan dan kebiasaan
melatih anak berpikir kritis. Kenneth D Moore (moore, 2001: 113) memberikan ilustrasi bahwa berpikir
kritis itu lebih kompleks daripada berpikir biasa, karena berpikir kritis berbasas pada standar
objektivitas dan konsisten. Guru, menurutnya pula, harus membiasakan siswa untuk mengubah pola
berpikirnya, yakni:
1. Dari menduga menjadi
mengestimasi.
2. Dari memilih menjadi
mengevaluasi
3. Dari pengelompokan menjadi
pengklasifikasian.
4. Dari percaya menjadi menduga.
5. Dari penyimpulan dengan
dugaan pada penyimpulan secara logis.
6. Dari selalu menerima konsep
pada mempertanyakan konsep.
7. Dari menduga menjadi
menghipotesis.
8. Dari menawarkan pendapat
tanpa alas an pada penawaran pendapat dengan argumentasi.
9. Dari membuat putusan tanpa
criteria pada pembuatan putusan dengan criteria.
Secara umum ada empat tahap dalam peningkatan kebiasaan berpikir
kreatif yang bisa dikembangkan pada berbagai aktivitas belajar siswa, yakni:
1. Persiapan, yakni proses
pengumpulan berbagai informasi untuk diuji (sebagai sebuah opsi dalam
penyelesaian masalah, jika kreativitas ini dikembangkan untuk menyelesaikan
masalah).
Pemikir kreatif akan mempertanyakan dan menginvestigasi hubungan antara
kejadian, ide dan tujuan, sampai dia memperoleh sebuah hipotesis.
2. Inkubasi, yakni suatu rentang
waktu untuk merenungkan hipotesis tersebut sampai dia memperoleh sebuah keyakinan bahwa hipotesisnya itu sangat rasional. Masa inkubasi
ini bisa dipersingkat.
3. Iluminasi, yakni fase
kecerahan saat pemikir memperoleh keyakinan benar bahwa hipotesisnya itu yang paling kuat dan paling benar.
4. Verifikasi, yakni pengujian
kembali hipotesisnya untuk dijadikan sebuah rekomendasi perbaikan atau perubahan berdasarkan hasil temuan baru. Verifikasi ini memerlukan data
yang dapat menguji
rumusan hipotesisnya itu.
Gambar 10:
No
|
Jenis Kegiatan
|
Indikator-Indikator Kecakapan
|
01
|
Kemampuan Berpikir Strategis
a. Kemampuan menyelesaikan
masalah
b. Kemampuan membuat keputusan
|
Mengenali masalah, merumuskan masalah, menyusun pilihan-pilihan
penyelesaian masalah, melaksanakan
rencana penyelesaian masalah,
dan mengevaluasi hasil penyelesaian masalah Mampu merumuskan tujuan,
kemam-puan mengidentifikasi beberapa alternatif, kemampuan menganalisis alternatif,
kemampuan mengambil keputusan terhadap pilihan terbaik, dan memilih satu
pilihan sebagai sebuah putusan akhir
|
02
|
Kemampuan Berpikir Kritis
|
Mampu membedakan antara fakta yang biasa diverifikasi dengan tuntutan
nilai, mampu membedakan
antara informasi, alasan, dan tuntutan-tuntutan yang relevan dengan
yang tidak relevan, mampu menetapkan
fakta yang akurat, mampu menetap-kan sumber yang memiliki
kredibilitas, mampu mengidentifikasi tuntutan dan argumen-argumen yang
ambiguistik, mampu mengidentifikasi asumsi-asumsi yang tidak diungkapkan,
mampu menditeksi bias, mampu mengidentifikasi logika-logika yang
keliru, mampu mengenali logika yang
tidak konsisten, dan mampu menetap-kan argumentasi atau tuntutan yang
paling kuat.
|
03
|
Kemampuan Memproses Informasi
|
Kemampuan untuk mengingat dan
mengutarakan kembali sebuah informasi, kemampuan menerjemah-
kan informasi, kemampuan menafsir-kan informasi, kemampuan
mengapli-kasikan informasi, kemampuan meng-analisis, membandingkan dan
mengklasifikasi informasi, kemampu-an mensintesiskan informasi, kemam-
puan mengevaluasi, dan kemampuan menyimpulkan, dengan pendekatan
induktif, deduktif maupun analogis.
|
Gambar 13
Beberapa Pilihan Pengayaan Bagi Siswa-Siswa Yang Cepat Menyelesaikan
Tugas
No
|
Jenis Kegiatan
|
Indikator-Indikator Kecakapan
|
01
|
Membaca bebas
|
Rak buku atau masalah disiapkan dibelakang ruangan kleas untuk
sewaktu-waktu dipergunakan oleh siswa untuk membaca dalam rangka pengayaan
kemampuan keilmuan mereka.
|
02
|
Permainan
|
Sbahagiaan ruangan kelas
dikosongkan, dan para bisa melakukan permainan game akademik sesuai mata
pelajaran yang mereka pelajari.
|
03
|
Komputer
|
Guru mempersiapkan berbagai
menu berupa software game atau simulasi yang terkait dengan pelajaran, dan
dapat digunakan oleh siswa untuk menghabiskan waktu luangnya setelah
menyelesaikan tugas-tugasnya.
|
04
|
Pusat belajar.
|
Berupa bahan-bahan ajar yang
disiapkan guru, dan sudah lengkap dengan tujuan learning guidenya.
|
05
|
Riset Individual (Project)
|
Dalam mengisi waktu luangnya,
siswa juga bisa mengerjakan tugas riset individualnya.
|
06
|
Peer Tutoring
|
Tutorial sebaya, yakni mereka yang telah memiliki pemahaman baik
tentang bahan ajar, ditugaskan oleh guru untuk mendampingi mereka yang belum
memiliki pemahaman baik tentang tugas-tugas dalam proses pembelajarannya.
|
Berbagai strategi dapat dikembangkan untuk meningkatkan kualitas proses
pembelajaran dalam rangka meningkatkan hasil, dengan pendekatan pendidikan yang sangat
mempertimbangkan multikultur, yaitu:
1. Siswa harus diberi
kepercayaan.
2. Hargai latar belakang kultur
mereka.
3. Tingkatkan partisipasi
keluarga.
4. Bantu siswa-siswa dalam
mengembangkan skil sosialnya.
5. Gunakan strategi pembelajaran
interaktif.
6. Ajarkan mereka dengan adil
dan penuh perhatian.
7. Pahami siswa-siswa anda.
8. Buang sikap anti toleransi.
9. Refleksikan kultur Anda
sendiri.
10. Bacalah literature-literatur multikultur.
11. Sampaikanlah pertanyaan-pertanyaan berkualitas tinggi untuk
mengembangkan kemampuan berpikir kritis siswa.
12. Sediakan peluang akses yang sama bagi semua siswa.
13. Kurangi sikap prejudice (prasangka) dan pahami hak-hak mereka.
14. Tentukan teks yang dibutuhkan.
Tabel 3
Tabel Indikator
Kompetensi Setiap Level Dari Setiap Ranah Adaptasi Contoh Kenneth D.
Moore
No
|
Ranah
|
Level Kecakapan
|
Indikator Kecakapan
|
01
|
Kognitif
|
Knowledge (Mengetahui dan mengingat)
|
Menyebutkan, menuliskan, menyatakan, mengurutkan, mengidentifikasi,
mendifinisikan, mencocokan, mena-
mai, melabeli, menggambarkan.
|
02
|
Cimprehension (Pemahaman)
|
Menerjemahkan, mengubah, meng-generalisasi, menguraikan (dengan
kata-kata sendiri), menulis ulang
(dengan kalimat sendiri) meringkas, membedakan (diantara dua),
mempertahankan, menyimpulkan, berpendapat, dan menjelaskan.
|
|
Application
(Penerapan ide)
|
Mengoperasikan, menghasilkan,
mengubah, membatasi, mengguna-
kan, menunjukkan, mempersiapkan,
dan menghitung.
|
||
Analysis
(Kemampuan
menguraikan)
|
Menguraikan satuan menjadi unit-
unit yang terpisah, membagi satuan
menjadi sub-sub atau bagian-
bagian, membedakan antara dua
yang sama, memilih, dan mengenai
perbedaan (diantara beberapa yang
dalam satu kesatuan)
|
||
Synthesis
(Unifikasi)
|
Merancang, merumuskan, meng-
organisasikan, mengompilasikan,
mengomposisikan, membuat
hipotesis, dan merencanakan.
|
||
Evaluation
(Menilai)
|
Mengkritisi, mengintepretasi, men-
jastifikasi dan memberikan penilaian
|
||
02
|
Afektif
|
Receving
(Penerimaan)
|
Mempercayai (sesuatu atau
seseorang untuk diikuti), memilih
(seseorang atau sesuatu untuk
diikuti), mengikuti, bertanya (untuk
diikuti), dan mengalokasikan.
Responding (Tanggapan)
|
Mengkonfirmasi, memberi
jawaban, membaca (pesan-pesan), mem-bantu, melaksanakan, melaporkan,
dan menampilkan. Valuing (Penanaman
nilai) Menginisiasi, mengundang (orang untuk terlibat), terlibat, mengusulkan
dan melakukan.
|
|||
03
|
sikomotorik
|
Chaaracterization (Karakterisasi kehidupan)
|
Menggunakan nilai-nilai sebagai pandangan hidup worldview),
mem-pertahankan nilai-nilai yang sudah
diyakini.
|
Oberving (Memperhatikan)
|
Mengamati proses, memberi per-hatian pada tahap-tahap sebuah
perbuatan, memebri perhatian pada
sebuah artikulasi.
|
||
Imitation (Peniruan)
|
Melatih, mengubah sebuah bentuk, membongkar sebuah struktur,
membangun kembali sebuah struktur, dan menggunakan sebuah konstruk, atau
model.
|
||
Practicing (Pembiasaan)
|
Membiasakan sebuah model atau perilaku yang sudah dibentuknya.
Mengontrol kebiasaan agar tetap konsisten.
|
||
Adapting (Penyesuaian)
|
Menyesuaikan model, membenar-kan sebuah model untuk dikembangkan, dan
menyekutukan
model pada kenyataan.
|
Evaluasi merupakan bagian yang
juga penting dalam pembelajaran efektif, yakni guru harus menyelenggarakan
evaluasi di akhir setiap sesi pelajaran, baik untuk melihat efektifitas
strategi yang dia kembangkan, maupun untuk mengukur hasil belajar siswa yang dapat
dijadikan input untuk perencanaan pembelajaran berikutnya. Jika guru tidak
mempunyai data tentang keberhasilan hari itu, dia tidak akan memiliki informasi yang cukup dalam perencanaan berikutnya, sehingga
tragedy penumpukkan akumulasi ketidakpahaman siswa juga akan terulang, dan
sekolah akan terus dikritik oleh client-nya karena meluluskan siswa dengan
nilai di bawah standar minimal penguasaan bahan ajar. Model perencanaan
prosedur pembelajaran yang di tawarkan Hunts memuat aspek-aspek sebagai berikut:
Pokok Bahasan, Sub-Pokok Bahasan
Tujuan umum (dalam model terakhir, kompetensi), Tujuan khusus,
(indicator kompetensi) Prosedur dan Materi:
1. Review, melakukan diskusi
singkat tentang pelajaran lalu dan hubungannya dengan yang akan
dipelajari hari ini.
2. Overview, menjelaskan outline
bahan-bahan ajar hari itu untuk didiskusikan.
3. Presentation, menjelaskan
inti pelajaran hari itu dengan telling, showing dandoing.
4. Exercise, yakni memberikan
kesempatan pada siswa untuk melatihkan apa yang telah mereka pahami dalam proses pembelajaran.
5. Summary, terakhir merumuskan
summary.
Sementara itu Kennet D. Moore
secara realitas memberikan pandangan, bahwa tidak semua guru
memiliki bakat pembicara yang baik, namun mereka harus menjadi komunikator
yang efektif. Untuk itu, guru harus melatih vokalnya dan irama penyampaian pelajarannya,
sehingga tidak sekadar efektif menyampaikan pesan, tapi juga nikmat untuk didengar. Sejalan dengan
pandangannya itu, Moore membagi komunikasi verbaluntuk proses pembelajaran ini menjadi dua,
yaitu verbal learning dan vocal learning. Verbal learning adalah proses pembelajaran yang dilakukan
siswa dengan memahami apa yang disampaikan guru melalui kata-kata yang diucapkannya. Dalam konteks
ini, guru menyampaikan pesan- pesan pembelajarannya, serta berbagai uraian tentang bahan ajar dengan
menggunakan bahasa lisan sesuai kemampuan dan kebiasaannya dia berbicara. Oleh sebab itu,
tingkat pemahaman siswa sangat dipengaruhi oleh beberapa factor sebagai berikut.
1. Pengorganisasian bahan ajar,
semakin baik bahan-bahan uraian itu terorganisasikan, maka akan
semakin baik tingkat pemahaman siswa terhadap bahan-bahan tersebut.
2. Kejelasan kata, yakni
menggunakan kata-kata yang jelas dan bermakna pasti hanya satu makna, lebih baik daripada menggunakan kata-kata bermakna ganda, sehingga pemahaman
siswa sesuai dengan maksud yang diucapkan oleh gurunya. Namun tidak boleh untuk memaksakan
penggunaan kata-kata yang jelas dengan mengabaikan inti pesan.
3. Untuk mempermudah pemahaman, sebaiknya informasi diperjelas dengan contoh-contoh dua arah, arah yang dimaksud dan arah yang tidak dimaksud, atau contoh yang salah, supaya siswa memahami dengan baik maksud pesan yang disampaikan. Inilah makna verbal learning dan upaya-upaya peningkatan efektifitasnya dalam belajar. Sedangkan vocal learning adalah proses pembelajaran yang dialkukan siswa dengan memahami pesan-pesan yang diucapkan guru dengan tempo yang sedang, tidak terlalu cepat dan juga tidak terlalu lambat, tinggi rendah nada suara yang diatur, dan intonasinya disesuaikan dengan pesan yang disampaikan. Penggunaan vocal yang baik, intonasi yang pas, tempo yang sedang dan ritme yang sesuai dengan alur pesan akan membantu efektifitas penyamapain pesan dalam proses pembelajaran, dan membantu pemahaman siswa terhadap pesan-pesan yang dibawakan guru tersebut. Kemudian dari itu, sebagaimana telah dikemukakan di atas, bahwa komunikasi guru dengan iswanya, juga bisa menggunakan model komunikasi non-verbal, yakni komunikasi yang tidak menggunakan kata- kata, tidak bisa didengar dan juga tidak bisa dibaca dalam uraian kata-kata tertulis. Komunikasi non-verbal hanya bisa dipahami dari berbagai isyarat gerakan anggota tubuh yang mengekpresikan sebuah pesan. Setidaknya ada tujuh (7) bentuk gerakan tubuh yang biasa dan bisa digunakan guru dalam berkomunikasi dengan siswa-siswanya, yakni sebagaimana terlihat dalam diagram berikut ini:
3. Untuk mempermudah pemahaman, sebaiknya informasi diperjelas dengan contoh-contoh dua arah, arah yang dimaksud dan arah yang tidak dimaksud, atau contoh yang salah, supaya siswa memahami dengan baik maksud pesan yang disampaikan. Inilah makna verbal learning dan upaya-upaya peningkatan efektifitasnya dalam belajar. Sedangkan vocal learning adalah proses pembelajaran yang dialkukan siswa dengan memahami pesan-pesan yang diucapkan guru dengan tempo yang sedang, tidak terlalu cepat dan juga tidak terlalu lambat, tinggi rendah nada suara yang diatur, dan intonasinya disesuaikan dengan pesan yang disampaikan. Penggunaan vocal yang baik, intonasi yang pas, tempo yang sedang dan ritme yang sesuai dengan alur pesan akan membantu efektifitas penyamapain pesan dalam proses pembelajaran, dan membantu pemahaman siswa terhadap pesan-pesan yang dibawakan guru tersebut. Kemudian dari itu, sebagaimana telah dikemukakan di atas, bahwa komunikasi guru dengan iswanya, juga bisa menggunakan model komunikasi non-verbal, yakni komunikasi yang tidak menggunakan kata- kata, tidak bisa didengar dan juga tidak bisa dibaca dalam uraian kata-kata tertulis. Komunikasi non-verbal hanya bisa dipahami dari berbagai isyarat gerakan anggota tubuh yang mengekpresikan sebuah pesan. Setidaknya ada tujuh (7) bentuk gerakan tubuh yang biasa dan bisa digunakan guru dalam berkomunikasi dengan siswa-siswanya, yakni sebagaimana terlihat dalam diagram berikut ini:
Daftar Pustaka:
Dr. Dede
Rosyada, MA, Paradigma Pendidikan Demokratis,
“Sebuah Model Pelibatan
Masyarakat DdalamPenyelenggaraan Pendidikan”, Kencana, 2004.
0 komentar:
Posting Komentar