Rabu, 29 Mei 2013

MENGAJAR YANG MEMBELAJARKAN

 MENGAJAR DAN BELAJAR
Mengajar, inilah kata kunci yang sangat mempengaruhi keberhasilan sebuah proses pendidikan, dan mengajar pulalah yang mendapat kritik keras dari Paulo Freire dengan model  pembelajaran pasif, yakni guru  enerangkan, murid mendengarkan, guru mendiktekan, murid  mencatat, guru bertanya, murid menjawa, dan seterusnya. Paulo Freire menyebutnya dengan pendidikan  gaya bank, yakni pendidikan model deposito, guru sebagai deposan yang  mendepositokan pengetahuan  serta berbagai pengalamannya pada siswa, siswa hanya menerima, mencatat dan mem-file semua yang  disampaikan guru. Pendidikan model bank tersebut menurut Freire merupakan salah satu bentuk  penindasan terhadap siswa-siswa, karena menghambat kreativitas dan pengembangan potensi mereka.
Pengajaran model itu terkadang juga disebut sebagai pendidikan gaya komando, dan menurut Muska Mosston, gejala tersebut muncul dalam decade 60-an sampai 70-an, yang mengembangkan prinsip distribusi sebuah keputusan harus dilakukan secara hierarkis, dari atas ke bawah, dari guru pada siswa. Dalam pengajaran gaya komando, semua perencanaan ditentuakan oleh guru,ndisampaikan pada siswa, dan siswa menerima pelajaran, mengubah perilaku sesuai dengan pelajaran baru. Akan tetapi, mereka tidak terlibat dalam proses analisis untuk penerapan pengalaman baru tersebut pada konteks kehidupan lain, dan lebih jauh lagi, mereka juga tidak terlibat dalam pembahasan feed back buat guru.
          Pengajaran model gaya komando ini menurut Mosston merupakan salah satu bentuk akhir polarisasi aliran behaviorisme, yang kemudian memperoleh kritik keras karena mamatikan semangat demokratisasi dan mematikan kreativitas siswa, tidak menghargai siswa dan kurang peduli terhadap keragaman siswa. Oleh sebab itu, kemudian berkembang model task style, yakni belajar antara penugasan dan instructional, dan diikuti kemudian dengan kemunculan berbagai model sampai kini muncul model collaborative and cooperative learning yang dikembangkan oleh aliran psikologi developmental, yang menekankan pada aktivitas siswa dan dibantu oleh guru. Namun sebelum lebih jauh membahas tentang model mengajar efektif untuk era reformasi saat ini, perlu diperjelas terlebih dahulu tentang apakah mengajar itu, pengertian seperti apa yang akan digunakan untuk mengajar dalam konteks mendorong perwujudan  sekolah demokratis.
                Sedangkan aliran psikologi kognitif memandang bahwa belajar adalah mengembangkan berbagai strategi untuk mencatat dan memperoleh berbagai informasi, siswa harus aktif menemukan informasi-informasi tersebut, dan guru bukan mengontrol stimulus, tapi menjadi partner siswa dalam proses penemuan berbagai informasi dan makna-makna dari informasi yang diperolehnya dalam pelajaran yang mereka bahas dan kaji bersama. Aliran constructivisme yang dikembangkan dari psikologi kognitif ini menekankan teorinya bahwa siswa amat berperan dalam menemukan ilmu baru. Contructivisme adalah aliran yang mengembangkan pandangan tentang belajar yang menekankan pada empat komponen kunci, yaitu:
1.  Siswa membangun pemahamannya sendiri dari hasil mereka belajar bukan karena disampaikan pada mereka.
2.  Pelajaran baru sangat tergantung pada pelajaran sebelumnya.
3.  Belajar dapat ditingkatkan dengan interaksi social.
4.  Penugasan-penugasan dalam belajar dapat meningkatkan kebermaknaan proses pembelajaran.
                Namun di tengah-tengah derasnya kritik terhadap behaviorisme, Kevin Wheldall dan Ted Glynn mengembangkan sebuah paradigma behaviorisme dengan constructivisme, dengan argumentasi bahwa disadari atau tidak, para guru telah dan terus menerapkan prinsip-prinsip behaviorisme dalam pengembangan proses pembelajarannya di dalam kelas, namun mereka juga tidak mau tertinggal dengan berbagai  perkembangan terbaru dalam peningkatan efektifitas pembelajaran.
                Demikian dikemukakan oleh Denis Child, editor buku Wheldall. Sedangkan teori-teori Kevin Wheldall dan Ted Glynn yang mensintesiskan teori behaviorisme dengan contructivisme yang berbasis teori psikologi developmental, adalah sebagai berikut:
Penggunaan metode-metode yang sesuai dengan kebutuhan analisis perilaku, yakni pelaksanaan pembelajaran dengan menekankan prosedur yang sistematis, selalu mengulang pengukuran perilaku yang termati, dan menggunakan berbagai strategi yang logis untuk mencapai perilaku yang diharapkan.
1.  Mengenali, mengakui berbagai konteks dan keadaan serta lingkungan yang penting dan mempengaruhi proses pembelajaran siswa. Berbagai strategi yang akan meningkatkan efektifitas  belajar siswa harus dikembangkan.
2.  Berusaha untuk memaksimalkan penggunaan berbagai penguat natural, kapan saja sejauh akan melahirkan konsekuensi positif untuk perubahan perilaku, dan mereka akan mampu melakukan generalisasi dari berbagai pengalaman belajar mereka, dan mampu mengaplikasikannya pada kehidupan yang lebih luas. Berbagai kemungkinan penguatan artificial harus digunakan secara selektif jika belum terbukti bahwa penguatan tersebut cukup produktif.
3.  Responsif terhadap berbagai data dari hasil penelitian aliran non-behavioural. Aliran behavioural tidak boleh selalu mengklaim bahwa hasil penelitian alirannya yang dapat dipakai. Hasil -hasil penelitian aliran lain seperti hasil penelitian aliran psikologi developmental merupakan sesuatu yang sangat berarti untuk interaksi orang dewasa dan anak-anak dalam seting social yang natural. Berbagai hasil penelitian dari aliran lain dapat memperkaya teori aliran behavioural dalam memperkaya perumusan teori-teori tentang belajar mengajar.
4.  Penekanan pada belajar interaktif. Aliran behavioural menghindari penjelasan satu arah dalam proses pembelajaran, dan mengadaptasi teori interactive learning, yang mengakui bahwa guru harus mengubah strategi sebagai respon terhadap pembelajar (siswa) saat terjadi perubahan perilaku belajar pada siswa.
5.  Selalu berusaha untuk membantu siswa, agar mereka dapat memberikan control yang lebih besar terhadap proses belajarnya sendiri. Dalam upaya membantu siswa agar lebih independent dalam belajar, kita harus mempersiapkan konteks belajar bagi mereka, dan mereka diberi kesempatan untuk memberikan kontrol yang lebih besar terhadap proses belajarnya sendiri. Konsekuensinya, siswa harus dibenarkan untuk memilih topic-topik belajar mereka, menentukan waktu dan konteks interkatif belajar mereka, menentukan waktu dan konteks interaksi belajar mereka. Dengan demikian, bahan-bahan belajar untuk anak-anak (yang sudah dipersiapkan) bisa menjadi sesuatu yang bertentangan dalam pendekatan tersebut.
6.  Memperluas program-program pendidikan tidak hanya program persekolahan tapi juga mencoba menambah dan memperkuat siswa dengan membuka peluang bagi mereka untuk mempelajari berbagai keahlian dan keterampilan akademik dan sosial yang sesuai dengan kehidupan nyata. Kami tidak menganggap bahwa jawaban terbenar terhadap hasil pendidikan adalah yang terikat dengan apa yang telah diberikan guru dan sekolah, tapi juga orang tua dan teman sebaya yang  telah memberikan  banyak nilai pada mereka melalui interaksinya. Kontribusi mereka terhadap hasil belajar anak-anak sangat besar yang tidak bisa dinilai.
7.  Mendorong inisiatif yang dikembangkan oleh para siswa sendiri. Kami bermaksud untuk mempersiapkan berbagai konteks yang dapat meningkatkan inisiatif para siswa dan yang dapat mendorong para guru untuk meresponi inisiatif tersebut.
8.  Menghargai setiap kesempatan belajar yang muncul dari berbagai kesalahan. Bahwa kesalahan-kesalahan itu menyediakan kesempatan belajar yang amat berguna. Guru dan siswa harus sama-sama mencari dan memperoleh informasi untuk mendapatkan strategi yang dibutuhkan untuk mengatasi berbagai kesulitan dalam belajar. Metode aliran behavioural constructive merancang untuk mendorong belajar tanpa kesalahan, dan melarang guru dan siswa untuk mengakses peluang berbagai kesalahan tersebut.
9.  Mengakui kompleksitas skil guru professional yang dibutuhkan oleh setiap guru. Kami benar-benar menolak ide untuk mencoba menghasilkan bahan ajar yang dihasilkan guru yang dapat menurunkan peran-peran profesionalisme guru. Riset-riset aliran behavioural kini terus berusaha untuk melengkapi guru dengan berbagai keterampilan dan prosedur untuk dapat digunakan dalam praktik secara langsung dalam menciptakan proses pembelajaran yang sesuai konteks bagi para siswa yang adalam didikannya. Semuanya ini termasuk perumusan model yang mendekati perilaku akademik dan social, dan mengembangkan kerjasama dengan orang tua, teman sebaya, serta para professional dalam prosedur yang dikembangkan untuk meningkatkan efektifitas proses pembelajaran siswa.  Untuk menjadi warga yang cerdas, setiap anak harus di didik dibina agar memiliki berbagai keahlian, skil dan keterampilan sesuai dengan talenta dan kemampuan yang mereka miliki. Gagasan besar tersebut sangat mudah diucapkan namun sukar untuk dirumuskan secara definitive untuk mencoba menyusun langkah-langkah yang akurat menuju ide-ide tersebut. Apakah smart citizen dengan berbagai kualifikasi idealnya sebagaimana telah dikemukakan di atas, bisa dicapai dengan pengembangan kemampuan kecerdasan dalam tahapan-tahapan kognitif seperti konsep Benjamin S. Bloom, yakni pengembangan kemampuan berpikir pada enam (6) level, dari mengenal, memahami, mengaplikasi, analisis, membuat sintesis dan melakukan evaluasi, yang kemudian diinternalisasi dengan perlakuan afektif dan dibiasakan dengan perlakuan sikomotorik. Pertanyaan besar ini masih terus diwacanakan di kalangan para peneliti dan peminat pendidikan. Salah satu hipotesisnya adalah kecerdasan seseorang, dalam sains dan teknologi tidak menjamin kesuksesan karir hidup dengan kemampuannya itu, tanpa diperkuat kecerdasan- kecerdasan lainnya yang diperlukan untuk mengembangkan kemitraan dengan orang lain,  mengembangkan kepercayaan diri, serta berbagai kemampuan komunikasi verbal dan non-verbal yang  diperlukan dalam artikulasi keilmuannya. Oleh sebab itu, Donald P. Kauchak mengangkat teori multiple  intelligence yang dikutipnya dari hasil penelitian Howard Gardner, yakni kecerdasan seseorang tidak  hanya diukur dengan tingkat intelligence question yang hanya mengukur tiga variable, yakni berpikir abstrak dan rasional, kemampuan penyelesaian masalah, dan kemampuan penguasaan pengetahuan, tapi dalam berbagai aspek yang sangat diperlukan dalam pengembangan kehidupan ke depan. Menurut Howard Gardner, terdapat tujuh (7) variable yang bisa diukur untuk melihat kecerdasan seseorang, yakni:
1.  Linguistic intelligence
2.  Logical-mathematical intelligence
3.  Misical intelligence
4.  Spatial intelligence
5.  Bodily-kinesthetic intelligence
6.  Interpersonal intelligence
7.  Intrapersonal intelligence
  
 BELAJAR YANG MEMBELAJARKAN 
                Model belajar problem solving tersebut, kini sudah mulai dikembangkan dengan modelpembelajaran portofolio. Pembelajaran dengan outcome level tertinggi lainnya adalah pengembangan criticak thinking yakni kemampuan berpikir kritis, yang bisa dikembangkan sejak dini, dan tidak tergantung pada tingkat intelligence question, namun pada intensitas pembinaan dan kebiasaan melatih anak berpikir kritis. Kenneth D Moore (moore, 2001: 113) memberikan ilustrasi bahwa berpikir kritis itu lebih kompleks  daripada berpikir biasa, karena berpikir kritis berbasas pada standar objektivitas dan konsisten. Guru, menurutnya pula, harus membiasakan siswa untuk mengubah pola berpikirnya, yakni:
1.  Dari menduga menjadi mengestimasi.
2.  Dari memilih menjadi mengevaluasi
3.  Dari pengelompokan menjadi pengklasifikasian.
4.  Dari percaya menjadi menduga.
5.  Dari penyimpulan dengan dugaan pada penyimpulan secara logis.
6.  Dari selalu menerima konsep pada mempertanyakan konsep.
7.  Dari menduga menjadi menghipotesis.
8.  Dari menawarkan pendapat tanpa alas an pada penawaran pendapat dengan argumentasi.
9.  Dari membuat putusan tanpa criteria pada pembuatan putusan dengan criteria.
Secara umum ada empat tahap dalam peningkatan kebiasaan berpikir kreatif yang bisa  dikembangkan pada berbagai aktivitas belajar siswa, yakni:
1.  Persiapan, yakni proses pengumpulan berbagai informasi untuk diuji (sebagai sebuah opsi dalam penyelesaian masalah, jika kreativitas ini dikembangkan untuk menyelesaikan masalah).
Pemikir kreatif akan mempertanyakan dan menginvestigasi hubungan antara kejadian, ide dan tujuan, sampai dia memperoleh sebuah hipotesis.
2.  Inkubasi, yakni suatu rentang waktu untuk merenungkan hipotesis tersebut sampai dia memperoleh sebuah keyakinan bahwa hipotesisnya itu sangat rasional. Masa inkubasi ini bisa dipersingkat.
3.  Iluminasi, yakni fase kecerahan saat pemikir memperoleh keyakinan benar bahwa hipotesisnya itu yang paling kuat dan paling benar.
4.  Verifikasi, yakni pengujian kembali hipotesisnya untuk dijadikan sebuah rekomendasi perbaikan atau perubahan berdasarkan hasil temuan baru. Verifikasi ini memerlukan data yang dapat menguji
rumusan hipotesisnya itu.
Gambar 10:
  


  
 No
Jenis Kegiatan 
  Indikator-Indikator Kecakapan
01
Kemampuan Berpikir Strategis
a.  Kemampuan menyelesaikan masalah
 b. Kemampuan membuat keputusan
Mengenali masalah, merumuskan masalah, menyusun pilihan-pilihan penyelesaian masalah, melaksanakan
rencana penyelesaian  masalah, dan mengevaluasi hasil penyelesaian masalah Mampu merumuskan tujuan, kemam-puan mengidentifikasi beberapa alternatif,  kemampuan menganalisis alternatif, kemampuan mengambil keputusan terhadap pilihan terbaik, dan memilih satu pilihan sebagai sebuah putusan akhir
02
  Kemampuan Berpikir Kritis

Mampu membedakan antara fakta yang biasa diverifikasi dengan tuntutan nilai, mampu membedakan
antara informasi, alasan, dan tuntutan-tuntutan yang relevan dengan yang tidak relevan, mampu menetapkan
fakta yang akurat, mampu menetap-kan sumber yang memiliki kredibilitas, mampu mengidentifikasi tuntutan dan argumen-argumen yang ambiguistik, mampu mengidentifikasi asumsi-asumsi yang tidak diungkapkan,
mampu menditeksi bias, mampu mengidentifikasi logika-logika yang keliru, mampu mengenali logika yang
tidak konsisten, dan mampu menetap-kan argumentasi atau tuntutan yang paling kuat.
03
Kemampuan Memproses Informasi
Kemampuan  untuk mengingat dan mengutarakan kembali sebuah informasi, kemampuan menerjemah-
kan informasi, kemampuan menafsir-kan informasi, kemampuan mengapli-kasikan informasi, kemampuan meng-analisis, membandingkan dan mengklasifikasi informasi, kemampu-an mensintesiskan informasi, kemam-
puan mengevaluasi, dan kemampuan menyimpulkan, dengan pendekatan induktif, deduktif maupun analogis.



  Gambar 13
 Beberapa Pilihan Pengayaan  Bagi Siswa-Siswa Yang Cepat Menyelesaikan Tugas



No 
Jenis Kegiatan 
Indikator-Indikator Kecakapan
01
Membaca bebas
Rak buku atau masalah disiapkan dibelakang ruangan kleas untuk sewaktu-waktu dipergunakan oleh siswa untuk membaca dalam rangka pengayaan kemampuan keilmuan mereka.
02
Permainan
  Sbahagiaan ruangan kelas dikosongkan, dan para bisa melakukan permainan game akademik sesuai mata pelajaran yang mereka pelajari.
 
03 
Komputer
  Guru mempersiapkan berbagai menu berupa software game atau simulasi yang terkait dengan pelajaran, dan dapat digunakan oleh siswa untuk menghabiskan waktu luangnya setelah menyelesaikan tugas-tugasnya.
04
Pusat belajar. 
  Berupa bahan-bahan ajar yang disiapkan guru, dan sudah lengkap dengan tujuan learning guidenya.
05
Riset Individual (Project)
Dalam mengisi waktu luangnya,
siswa juga bisa mengerjakan tugas riset individualnya.
06
Peer Tutoring 
Tutorial sebaya, yakni mereka yang telah memiliki pemahaman baik tentang bahan ajar, ditugaskan oleh guru untuk mendampingi mereka yang belum memiliki pemahaman baik tentang tugas-tugas dalam proses pembelajarannya.

Berbagai strategi dapat dikembangkan untuk meningkatkan kualitas proses pembelajaran dalam rangka meningkatkan hasil, dengan pendekatan pendidikan yang sangat mempertimbangkan multikultur, yaitu:
1.  Siswa harus diberi kepercayaan.
2.  Hargai latar belakang kultur mereka.
3.  Tingkatkan partisipasi keluarga.
4.  Bantu siswa-siswa dalam mengembangkan skil sosialnya.
5.  Gunakan strategi pembelajaran interaktif.
6.  Ajarkan mereka dengan adil dan penuh perhatian.
7.  Pahami siswa-siswa anda.
8.  Buang sikap anti toleransi.
9.  Refleksikan kultur Anda sendiri.
10. Bacalah literature-literatur multikultur.
11. Sampaikanlah pertanyaan-pertanyaan berkualitas tinggi untuk mengembangkan kemampuan berpikir kritis siswa.
12. Sediakan peluang akses yang sama bagi semua siswa.
13. Kurangi sikap prejudice (prasangka) dan pahami hak-hak mereka.
14. Tentukan teks yang dibutuhkan.
  
  Tabel 3
 Tabel Indikator
Kompetensi Setiap Level Dari Setiap Ranah Adaptasi Contoh Kenneth D. Moore
 No
Ranah 
Level Kecakapan 
Indikator Kecakapan
01

Kognitif 

Knowledge (Mengetahui dan mengingat)
Menyebutkan, menuliskan, menyatakan, mengurutkan, mengidentifikasi, mendifinisikan, mencocokan, mena-
mai, melabeli, menggambarkan.

02


    Cimprehension (Pemahaman)

Menerjemahkan, mengubah, meng-generalisasi, menguraikan (dengan kata-kata sendiri), menulis ulang
(dengan kalimat sendiri) meringkas, membedakan (diantara dua), mempertahankan, menyimpulkan, berpendapat, dan menjelaskan.


Application
(Penerapan ide)
Mengoperasikan, menghasilkan,
mengubah, membatasi, mengguna-
kan, menunjukkan, mempersiapkan,
dan menghitung.


    Analysis
(Kemampuan
menguraikan)
Menguraikan satuan menjadi unit-
unit yang terpisah, membagi satuan
menjadi sub-sub atau bagian-
bagian, membedakan antara dua
yang sama, memilih, dan mengenai
perbedaan (diantara beberapa yang
dalam satu kesatuan)


    Synthesis
(Unifikasi)
Merancang, merumuskan, meng-
organisasikan, mengompilasikan,
mengomposisikan, membuat
hipotesis, dan merencanakan.


    Evaluation
(Menilai)
Mengkritisi, mengintepretasi, men-
jastifikasi dan memberikan penilaian
02
Afektif
Receving
(Penerimaan)
Mempercayai (sesuatu atau
seseorang untuk diikuti), memilih
(seseorang atau sesuatu untuk
diikuti), mengikuti, bertanya (untuk
diikuti), dan mengalokasikan.
    Responding (Tanggapan)



Mengkonfirmasi, memberi  jawaban, membaca (pesan-pesan), mem-bantu, melaksanakan, melaporkan, dan menampilkan.     Valuing (Penanaman nilai) Menginisiasi, mengundang (orang untuk terlibat), terlibat, mengusulkan dan melakukan.

03
  sikomotorik 
Chaaracterization (Karakterisasi kehidupan)
Menggunakan nilai-nilai sebagai pandangan hidup worldview), mem-pertahankan nilai-nilai yang sudah
diyakini.


Oberving (Memperhatikan)
Mengamati proses, memberi per-hatian pada tahap-tahap sebuah perbuatan, memebri perhatian pada
sebuah artikulasi.    


Imitation (Peniruan)

Melatih, mengubah sebuah bentuk, membongkar sebuah struktur, membangun kembali sebuah struktur, dan menggunakan sebuah konstruk, atau model.


Practicing (Pembiasaan)
Membiasakan sebuah model atau perilaku yang sudah dibentuknya.
Mengontrol kebiasaan agar tetap konsisten.


Adapting (Penyesuaian)
Menyesuaikan model, membenar-kan sebuah model untuk dikembangkan, dan menyekutukan
model pada kenyataan.



 Evaluasi merupakan bagian yang juga penting dalam pembelajaran efektif, yakni guru harus menyelenggarakan evaluasi di akhir setiap sesi pelajaran, baik untuk melihat efektifitas strategi yang dia kembangkan, maupun untuk mengukur hasil belajar siswa yang dapat dijadikan input untuk perencanaan pembelajaran berikutnya. Jika guru tidak mempunyai data tentang keberhasilan hari itu, dia tidak akan memiliki informasi yang cukup dalam perencanaan berikutnya, sehingga tragedy penumpukkan akumulasi ketidakpahaman siswa juga akan terulang, dan sekolah akan terus dikritik oleh client-nya karena meluluskan siswa dengan nilai di bawah standar minimal penguasaan bahan ajar. Model perencanaan prosedur pembelajaran yang di tawarkan Hunts memuat aspek-aspek sebagai berikut:
Pokok Bahasan, Sub-Pokok Bahasan
Tujuan umum (dalam model terakhir, kompetensi), Tujuan khusus, (indicator kompetensi) Prosedur dan Materi:
1.  Review, melakukan diskusi singkat tentang pelajaran lalu dan hubungannya dengan yang akan
dipelajari hari ini.
2.  Overview, menjelaskan outline bahan-bahan ajar hari itu untuk didiskusikan.
3.  Presentation, menjelaskan inti pelajaran hari itu dengan telling, showing dandoing.
4.  Exercise, yakni memberikan kesempatan pada siswa untuk melatihkan apa yang telah mereka pahami dalam proses pembelajaran.
5.  Summary, terakhir merumuskan summary.
    Sementara itu Kennet D. Moore secara realitas memberikan pandangan, bahwa tidak semua guru
memiliki bakat pembicara yang baik, namun mereka harus menjadi komunikator yang efektif. Untuk itu, guru harus melatih vokalnya dan irama penyampaian pelajarannya, sehingga tidak sekadar efektif menyampaikan pesan, tapi juga nikmat untuk didengar. Sejalan dengan pandangannya itu, Moore membagi komunikasi verbaluntuk proses pembelajaran ini menjadi dua, yaitu verbal learning dan vocal learning. Verbal learning adalah proses pembelajaran yang dilakukan siswa dengan memahami apa yang disampaikan guru melalui kata-kata yang diucapkannya. Dalam konteks ini, guru menyampaikan pesan- pesan pembelajarannya, serta berbagai uraian tentang bahan ajar dengan menggunakan bahasa lisan  sesuai kemampuan dan kebiasaannya dia berbicara. Oleh sebab itu, tingkat pemahaman siswa sangat dipengaruhi oleh beberapa factor sebagai berikut.
1.  Pengorganisasian bahan ajar, semakin baik bahan-bahan uraian itu terorganisasikan, maka akan
semakin baik tingkat pemahaman siswa terhadap bahan-bahan tersebut.
2.  Kejelasan kata, yakni menggunakan kata-kata yang jelas dan bermakna pasti hanya satu makna, lebih baik daripada menggunakan kata-kata bermakna ganda, sehingga pemahaman siswa sesuai dengan maksud yang diucapkan oleh gurunya. Namun tidak boleh untuk memaksakan penggunaan kata-kata yang jelas dengan mengabaikan inti pesan.
3.  Untuk mempermudah pemahaman, sebaiknya informasi diperjelas dengan contoh-contoh dua arah, arah yang dimaksud dan arah yang tidak dimaksud, atau contoh yang salah, supaya siswa memahami dengan baik maksud pesan yang disampaikan. Inilah makna verbal learning dan upaya-upaya peningkatan efektifitasnya dalam belajar. Sedangkan vocal learning adalah proses pembelajaran yang dialkukan siswa dengan memahami pesan-pesan yang  diucapkan guru dengan tempo yang sedang, tidak terlalu cepat dan juga tidak terlalu lambat, tinggi rendah nada suara yang diatur, dan intonasinya disesuaikan dengan pesan yang disampaikan. Penggunaan vocal yang baik, intonasi yang pas, tempo yang sedang dan ritme yang sesuai dengan alur pesan akan membantu efektifitas penyamapain pesan dalam proses pembelajaran, dan membantu pemahaman siswa terhadap pesan-pesan yang dibawakan guru tersebut. Kemudian dari itu, sebagaimana telah dikemukakan di atas, bahwa komunikasi guru dengan iswanya, juga bisa menggunakan model komunikasi non-verbal, yakni komunikasi yang tidak menggunakan kata- kata, tidak bisa didengar dan juga tidak bisa dibaca dalam uraian kata-kata tertulis. Komunikasi non-verbal  hanya bisa dipahami dari berbagai isyarat gerakan anggota tubuh yang mengekpresikan sebuah pesan. Setidaknya ada tujuh (7) bentuk gerakan tubuh yang biasa dan bisa digunakan guru dalam berkomunikasi dengan siswa-siswanya, yakni sebagaimana terlihat dalam diagram berikut ini: 

 Daftar Pustaka: 
Dr. Dede Rosyada, MA, Paradigma Pendidikan Demokratis,  “Sebuah Model Pelibatan
Masyarakat DdalamPenyelenggaraan Pendidikan”, Kencana, 2004.

0 komentar:

Posting Komentar

About star!kurikulum smk 2013!

Diberdayakan oleh Blogger.